Penjabaran Singkat Kasus Mega Korupsi E-KTP :
Kasus
KTP elektronik alias e-KTP sudah lama bergulir. Kasus ini diduga merugikan
negara lebih dari Rp2 triliun. Bahkan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
menilai, kasus korupsi ini adalah kasus paling serius. Dua tersangka dari
Kementerian Dalam Negeri sudah ditetapkan sebagai tersangka. Konsorsium PT PNRI
memenangkan tender dengan penawaran harga Rp5,8 triliun. Padahal, para
pesaingnya mengajukan penawaran lebih rendah, antara Rp4,7 triliun- Rp4,9
triliun. KPK juga memeriksa banyak pihak. Termasuk para anggota Komisi II DPR,
periode 2009-2014.
Bagaimana kronologinya
kasus korupsi E-KTP?
Sejak Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Penduduk disahkan,
data penduduk harusnya sudah dibangun. Kementerian Dalam Negeri bertanggung
jawab atas administrasi kependudukan ini. Lelang e-KTP ini dimulai pada 2011.
Terpidana korupsi M Nazaruddin bahkan membeberkan, pengaturan lelang ini sudah
berlangsung sejak Juli 2010.
Akhirnya,
pada Juni 2011, Kementerian Dalam Negeri mengumumkan Konsorsium PT PNRI sebagai pemenangdengan harga Rp5,9 triliun. Konsorsium
ini terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT Sandhipala Arthapura,
PT Len Industri (Persero), PT Quadra Solution). Mereka menang setelah
mengalahkan PT Astra Graphia yang menawarkan harga Rp6 triliun. Tapi banyak
pihak menilai janggal munculnya pemenang.
Dalam
proses lelang, menurut ICW (Indonesian Corruption Watch) ada
kejanggalan. Tiga hal yang janggal menurut ICW adalah post bidding,
penandatanganan kontrak pada masa sanggah banding, dan persaingan usaha tidak
sehat. Post bidding adalah mengubah dokumen dokumen penawaran setelah
batas akhir pemasukan penawaran. Selain itu, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/jasa Pemerintah) menilai, kontrak itu ditanda tangani saat proses lelang
tengah disanggah, oleh dua peserta lelang, Konsorsium Telkom dan Konsorsium
Lintas Bumi Lestari.
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan ada persekongkolan dalam tender
penerapan KTP Berbasis NIK Nasional (e-KTP) Tahun 2011-2012. Pelakunya, menurut
KPPU adalah Panitia Tender, Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), dan PT
Astra Graphia Tbk. Dalam putusan tersebut, majelis KPPU membeberkan bentuk-bentuk persekongkolan yang
dilakukan antara PNRI dan Astra Graphia. Persengkokolan juga dijalin dengan
panitia lelang.
KPK
mulai menelusuri dugaan korupsi pada 22 April 2014. Komisi menetapkan “S”,
mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil
Kemendagri sebagai tersangka. Enam bulan selepas KPK masuk, MA dalam putusannya menolak kasasi KPPU
tersebut.
Dua
setengah tahun jadi tersangka, "S" baru ditahan pertengahan Oktober lalu.
Belakangan, KPK menetapkan “IR” yang juga pernah
menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil sebagai
tersangka.
Wakil
Ketua KPK, Basaria Panjaitan meyakini, kasus dugaan korupsi e-KTP tidak hanya
dilakukan oleh dua tersangka itu. Untuk mengusut kasus ini, tim penyidik KPK
telah memeriksa 110 orang yang dianggap mengetahui proses proyek e-KTP. Banyak
tokoh sudah diperiksa. Di antaranya mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Bahkan, Ketua DPR Setya Novanto juga bakal diperiksa.Wakil
Ketua KPK lainnya, Laode M Syarief menyatakan, kasus e-KTP merupakan salah satu
kasus yang menjadi fokus KPK saat ini.
- Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara jelas menyebut unsur pidana wajib dilaporkan ke pihak berwajib. Selain itu, BPK juga bisa memanfaatkan konsep Whistleblower untuk melaporkan adanya dugaan tidak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum kasus E-KTP ini.
- Berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seorang whistleblower bisa melaporkan indikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja dan memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.
- Bedasarkan UU No. 20 Tahun 2001 juncto UU No. 31 Tahun 1999, perbuatan korupsi diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama duapuluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar. Mengenai penerapan pidana mati terhadap terdakwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
- Bedasarkan penjatuhan pidana bagi perkara korupsi yang diakomodir dalam RKUHP dalam BAB XXXI menganai tindak pidana jabatan (Pasal 661 – Pasal 687 ) dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling banyak kategori V( Pasal 80 ayat 3 huruf e ,dengan denda sebesar Rp. 1.200.000.000,00).
- Berdasarkan pada BAB XXXII mengenai tindak pidana korupsi ( Pasal 668 – Pasal 701 ) cukup bervariatif mulai dari pidana penjara paling singkat satu tahun, lima tahun, tujuh tahun, sembilan tahun, dan paling lam 15 tahun serta pemberatan pidana satu per tiga masa tahanan apabila merugikan keuangan dan perekonomian negara ( Pasal 702 ). Dan denda paling sedikit kategori I (Pasal 80 ayat 3 huruf A dengan denda sebesar Rp.6.000.000 ) paling banyak kategori VI ( Pasal 80 ayat 3 huruf F dengan denda sebesar Rp.12.000.000 ).
Analisis Aspek Ekonomi :
KPK baru mengumumkan total kerugian negara dalam
kasus ini pada 2016, yakni sebesar Rp 2,3 triliun. Dari angka tersebut,
sebanyak Rp 250 miliar dikembalikan kepada negara oleh 5 korporasi, 1
konsorsium, dan 14 orang. Nilai kerugian negara dari Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Angkanya pun sangat fantastis yang lebih dari
Rp 2 triliun.
Selaku pejabat pembuat komitmen (PPK),
Sugiharto diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan
wewenang yang mengakibatkan kerugian negara terkait pengadaan proyek tersebut.
Nilai proyek tersebut mencapai Rp6 triliun dan saat itu diperkirakan kerugian
negara sebesar Rp1,12 triliun.
Dari segi ekonomi sendiri, korupsi akan berdampak banyak
perekonomian negara kita. Yang paling utama pembangunan terhadap sektor -
sektor publik menjadi tersendat. Dana APBN maupun APBD dari pemerintah yang
hampir semua dialokasikan untuk kepentingan rakyat seperti fasilitas-fasilitas
publik hampir tidak terlihat realisasinya, kalaupun ada realisasinya tentunya
tidak sebanding dengan biaya anggaran yang diajukan.. Contoh kecilnya saja,
jalan - jalan yang rusak dan tidak pernah diperbaiki akan mengakibatkan
susahnya masyarakat dalam melaksanakan mobilitas mereka termasuk juga dalam
melakukan kegiatan ekonomi mereka. Jadi akibat dari korupsi ini tidak hanya
mengganggu perekonomian dalam skala makro saja, tetapi juga mengganggu secara
mikro dengan terhambatnya suplai barang dan jasa sebagai salah satu contohnya.
Hal ini akan menambah tingkat kemiskinan, pengangguran dan
juga kesenjangan sosial karena dana pemerintah yang harusnya untuk rakyat
justru masuk ke kantong para pejabat dan orang - orang yang tidak bertanggung
jawab lainnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak optimal ini akan
menurunkan kualitas pelayanan pemerintah di berbagai bidang. Menurunnya
kualitas pelayanan pemerintah akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Kepercayaan masyarakat yang semakin berkurang kepada para pejabat
negara.
Korupsi
mengurangi pendapatan dari sektor publik dan meningkatkan pembelanjaan
pemerintah untuk sektor publik. Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk
melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar
(market failure). Korupsi juga
menghambat pendapatan pajak.
Kasus
mega korupsi e-ktp, pembuatan ktp di seluruh Indonesia jadi terhambat bahkan
sampe berbulan-bulan e-ktp belom selesai. Pada tahun 2017 ini yang sedang
dilaksanakan Pilkada serentak, banyak warga yang kehilangan hak suara memilih
pemimpin daerah karena tidak adanya e-ktp.
https://beritagar.id/artikel/berita/kronologi-sengkarut-korupsi-e-ktp
Diakses pada tanggal 23 Maret 2018. Pukul 15;00
https://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/undang-undang-pendukung
Diakses pada tanggal 23 Maret 2018. Pukul 15;00
https://news.detik.com/berita/d-3442042/kasus-e-ktp-rp-23-t-kerugian-negara-2-tersangka-dan-280-saksi
Diakses pada tanggal 23 Maret 2018. Pukul 15;00
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_31_99.htm Diakses pada tanggal 23 Maret 2018. Pukul
15;00